Antipati dan Tarian Jiwa
Rabu, Mei 08, 2013
Antipati dari kesesuain cipta sering tersebut sebagai pembenaran akan logika, tampak kerdil ketika tak satupun kebenaran itu membenarkannya dalam mayapada realita, tapi percayalah.... Itu tampak raksasa dalam awan-awan rasa dan menjadi sebuah keyakinan dalam kedigdayaan julangnya lembah nafsu.
Sementara paparan koreografi terus dilagukan, irama cahaya panggung tetap dalam redupnya, penari-penari itu tetap berlenggak dalam narasi pikirnya, dalam irama degup raga yang sudah lama terpisah, meski jera, antipatinya cukup ampuh membungkam setiap bijana-bijana rasa yang menggila.
Dan lihatlah ia, tariannya menjadi jembatan antara masa lama dan kini, menyambung antara lidah dan rasa yang abadi, memaparkan ke-tiadaan, mendulang kesunyian yang ia balut dengan hingarnya rebana tawaf-tawaf kecil.
Dan lihatlah ia, gerakannya menjadi ke-kakuan yang dinamis dalam nisbat rasa yang ia kendali, terus berpejar dalam sudut-sudut ke-takmampuan yang amat bersemangat, mengais intan-intan permata dalam tumpukan bangkai rajah jasadnya.
Menari... Menari... Menari...
Tak lunglai ia dalam bahagianya
Tak penat ia dalam bahananya
Tak perih ia dalam lirihnya
Tak mati kaku ia dalam kuburnya
Menari.... Menari... Menari...
Antipatimu menyayat nurani, mengiris bagai relung karang yang terabrasi keinginan.
Hey.... kulihat engkau begitu hingar dan menari ceria dalam rudungan nisan berbalut melati....
Garut, 20 Maret 2010