Antipati dan Tarian Jiwa
Rabu, Mei 08, 2013Antipati dari kesesuain cipta sering tersebut sebagai pembenaran akan logika, tampak kerdil ketika tak satupun kebenaran itu membenarkannya dalam mayapada realita, tapi percayalah.... Itu tampak raksasa dalam awan-awan rasa dan menjadi sebuah keyakinan dalam kedigdayaan julangnya lembah nafsu.
Sementara paparan koreografi terus dilagukan, irama cahaya panggung tetap dalam redupnya, penari-penari itu tetap berlenggak dalam narasi pikirnya, dalam irama degup raga yang sudah lama terpisah, meski jera, antipatinya cukup ampuh membungkam setiap bijana-bijana rasa yang menggila.
Dan lihatlah ia, tariannya menjadi jembatan antara masa lama dan kini, menyambung antara lidah dan rasa yang abadi, memaparkan ke-tiadaan, mendulang kesunyian yang ia balut dengan hingarnya rebana tawaf-tawaf kecil.
Dan lihatlah ia, gerakannya menjadi ke-kakuan yang dinamis dalam nisbat rasa yang ia kendali, terus berpejar dalam sudut-sudut ke-takmampuan yang amat bersemangat, mengais intan-intan permata dalam tumpukan bangkai rajah jasadnya.
Menari... Menari... Menari...
Tak lunglai ia dalam bahagianya
Tak penat ia dalam bahananya
Tak perih ia dalam lirihnya
Tak mati kaku ia dalam kuburnya
Menari.... Menari... Menari...
Antipatimu menyayat nurani, mengiris bagai relung karang yang terabrasi keinginan.
Hey.... kulihat engkau begitu hingar dan menari ceria dalam rudungan nisan berbalut melati....
Garut, 20 Maret 2010
..... tersenyumlah ......
Rabu, Juni 22, 2011Orang berkata, "langit selalu berduka dan mendung."
Tapi aku berkata, "tersenyumlah, cukuplah duka cita di langit sana."
Orang berkata, "masa muda berlalu dariku."
Tapi aku berkata,"tersenyumlah, bersedih menyesali masa muda tak kan pernah mengembalikannya"
Orang berkata,"langitku yang ada di dalam jiwa telah membuatku merana dan berduka, janji-janjiku telah mengkhianatiku ketika kalbu telah menguasainya, bagaimana mungkin jiwaku sanggup mengembangkan senyum manisnya.
Maka akupun berkata,"tersenyumlah dan berdendanglah, kala kau membandingkan semua umurmu kan habis untuk merasakan sakitnya.
Orang berkata,"sekian hari raya telah tampak tanda-tandanya seakan memerintahkanku membeli pakaian dan boneka-boneka, sedang aku punya kewajiban bagi teman-teman dan saudara, namun telapak tanganku tak memegang walau satu dirham adanya.
Ku katakan : tersenyumlah, cukuplah bagi dirimu karena kamu masih hidup, dan engkau tidak kehilangan saudara-saudara dan kerabat yang kau cintai.
Orang berkata,"malam memberiku minuman 'alqamah, tersenyumlah, walau kau makan buah 'alqamah.
Mungkin saja orang lain melihatmu berdendang akan membuang semua kesdihan. Berdendanglah, apa kau kira dengan cemberut akan memperoleh dirham atau kau merugi karena menampakan wajah berseri?
Saudaraku, tak membahayakan bibirmu jika engkau mencium juga tak membahayakan jika wajahmu tampak indah berseri.
Tertawalah, sebab meteor-meteor langit juga tertawa, mendung tertawa, karenanya kami mencintai bintang-bintang.
Orang berkata, "wajahmu berseri tidak membuat dunia bahagia yang datang ke dunia dan pergi dengan gumpalan amarah"
Ku katakan,"tersenyumlah, selama antara kau dan kematian ada jarak sejengkal, setelah itu engkau tidak akan pernah tersenyum.
(Dinukil dari karya Elia Abu Madhi dan disunting seperlunya)
....sehabis bersenandung....
Kamis, September 02, 2010....Sebaris syair itu mengingatkanku akan sebuah harapan yang pernah tumbuh, menguat dan menjadi sebuah keyakinan baru, bahkan lebih jauh membentuk definisi akan sebuah intra reksa di sepanjang jalan hidup ini. Entahlah....
Adakah itu sebuah rekayasa keinginan dan hasrat atau kebodohan terjahil yang pernah aku buat, namun iramanya sejuk, memberi humus-humus tersubur di atas tanah yang hampir membatu, memberi sejuk pada kenisbian hati.
Lalu... Anggap saja itu pelita, temaramnya tetap memberi ruang dalam kedangkalan logika, ya ... Saat itu logika tak pernah ada, terkubur oleh sebuah harapan dan hasrat yang membahana.
Lalu... Anggap saja itu petaka, kejahilannya tetap memberi damai dalam kebahanaan rasa, ya.. Ia tetap ada meski dikubur dengan harapan baru yang dengan susah payah dibangun kembali.
Lalu... Anggap saja itu masa lalu, dan pijakanku hanya ada pada dimensi kekinian, tapi keniscayaannya tetap ada, dengan atau tanpa sebuah pengakuan.
Lalu... Anggap saja itu kenangan, selayak cermin yang sesekali kita lihat guna memberi arah membangun ke-masa depanan, dengan atau tanpa sebuah penghargaan.
Jika ini adalah sebuah keniscayaan kini, maka ia adalah kepanjangan rasa dan karsa dari syair itu......dan aku bersyukur untuk itu semua
(Harusnya) Menjadi Pengantar Kitab Kehidupan
Minggu, Juli 11, 2010Mengapa harus takut hilang dan kehilangan, sedang semua berasal dari ketiadaan. Yang harus ditakutkan adalah “merasa” hilang dan kehilangan sementara apapun itu masih dalam genggaman.
Dahulu, bukankah keinginan dan harapan adalah bentuk hasrat dalam wujud rasa di keniscayaan masa lalu? Ia menjadi teramat tertambatkan hingga semua ornamen hidupmu kau bentuk menjadi mozaik rasa yang hanya kau sendiri yang mampu melihat keindahan itu……….maka itulah keniscayaan rasa masa lalumu.
Dahulu, bukankah setiap helaan nafasmu kau tahbiskan untuk sebuah hirupan bunga melati yang kembang berseri? Ia menjadi buncahan semangat dalam taman hidumu…..dan itulah keniscayaan rasa masa lalumu, jadikan ia monumen terindah dalam laluan seluruh hidupmu kelak
Di setiap perhentian hidup laluku, kelak akan kubangun sebuah monumen lengkap dengan arca dan gapura serta bokor bunga yang setiap hari kutabur dengan melati segar. Arca kubentuk dengan seringai senyum tulus bak Semar yang memberi tenang pada amarahnya Bima, gapuranya kubuat serapat mungkin hingga hanya aku yang mampu melewatinya, atau akan kusaring setiap pengunjung dengan identitas keikhlasan setiap beribadah di dalamnya.
Laluan jalan yang terlewati tetap tak berubah, rimbunan tampak meneduhi, temaramnya tetap memberi terang bahwa aku pernah disini, bahwa aku pernah menghamba pada diriku yang lain hingga penghambaan itu berubah wujud seketika aku menjadi aku dalam ragaku.
Langit mencurah gairah, helaan penat sang pengantar memberiku ingat bahwa semua yang ada adalah anugerah, bahwa anugerah adalah bentuk jamak dari keikhlasan, bahwa anugerah adalah pameo yang seharusnya menjadi cemeti kelunglaian sang nestapa.
Dan termenung….
Menyeruak ke-takdiran di kisi-kisi ambisi, agitasinya menggetas memberi absurbi logika dalam setiap putaran kebimbangan yang lebih dahsyat dari berputarnya sang Buruuj dalam sangkar langit.
Dan termenung….
Betapa tak terasa monumen itu kelak akan kubangun dengan ke-setengahanku, ke-takmampuanku, sedang aku sangsi bahwa monumen itu adalah kesatuan utuh atas logika dan pengharapan.
Dan termenung….
Seluruh laluanku kuhentikan pada nadir kini, tak perlu mencari sisi lain atas birama ini, tak perlu mencari jawab atas menggetasnya ketukan yang setiap nadanya adalah kelunglaian, sebab semua monumen yang kelak akan kubuat adalah monumen-monumen terindah yang pernah ada.
Langit tetap mencurah gairah, meski lamat-lamat, setiap petir yang mengiring bak karomah laluan laluku, ia tetap setia dengan kefakiran dirinya atas ke-bukanan aku dalam dimensi yang jelas bukan kesatuan utuh dari logika dan pengharapan.
Wahai monumenku kelak… Kupastikan taburan melatimu akan tetap selalu segar….
Itulah kitab hidup dan kehidupan, jilid-jilidnya sudah diatur sedemikian rupa hingga kau harus memahami setiap jilid seusai anda khatam atas jilid itu, SEGERA PAHAMI…. Sebab jilid-jilid yang lainnya tak mungkin bisa menunggu untuk kau baca dan segera pahami kembali.
Aku dalam Ragaku
Minggu, Maret 21, 2010Jika raga ini adalah seonggok daging dan rangkaian otot bertulang maka ia adalah sebuah sistem yang maha sempurna dalam kacamata makhluk. Aliran darah memberi asupan udara atasnya guna memberi yang terbarukan, sel berkembang, berganti dan menjadi baru lalu kemudian membusuk bersama dengan cacing-cacing dan bakteri-bakteri yang ia bawa dalam lubang tanah seluas 1 x 2 meter, tak lama berselang tubuh sempurna itu menjadi seonggok rangka belulang yang tak berdaya.
Keniscayaan itu belum aku rasakan, mungkin menjelang atau mungkin aku sudah menjadi rangka belulang tadi dalam dimensi yang lebih besar dari 1x2 meter.
Apapun itu, entahlah niscaya itu sedang aku rasakan prosesnya.Lalu dimana aku dalam raga yang hendak membusuk ini?
Ketika raga ini masih berbentuk janin dalam rahim ibuku, selalu kudengar lembut lirih doanya di setiap malam agar aku adalah berarti bagi raga ini.
Ketika bertumbuh, selalu kurasa bahwa setiap helaan nafasnya adalah doa termakbul bagi aku dalam raga yang tumbuh, setiap keringat dan air matanya menjadi jargon baru dalam memberi saksi bahwa aku dalam raga ini adalah buah keindahan Ia.
Ketika dewasa, bahwa setiap berubah renta dan pipi tirusnya ibuku adalah lonceng-lonceng pengingat akan aku adalah ruh penggerak dan penebar cinta bagi aku dalam raga ini.
Ibu rentaku yang cantik.... Haturan maaf yang suci mungkin tak pernah lisan kau dengar, sujud lunglaiku bersimpuh di telapak surgamu mungkin tak jua kau rasa menghamba.... Tapi aku dalam raga ini entah kemana... Mengapa dan bagaimana ia begitu menjadi sisi lain dari setiap doamu masih menjadi tanda tanya besar yang tak berusaha kucari jawab atasnya dengan segala kebodohan yang kupunya
.Ibu rentaku yang cantik.... Seketika berputar bagi sirkel tak berkesudahan aku dalam kebingungan yang tak pernah dan tak akan pernah kau ajarkan pada aku dalam raga ini bahwa 'mengapa aku dalam raga ini bukanlah aku yang selalu kau hembusi dengan doa, cinta dan harapan, dan itu adalah aku dalam raga ini, raga yang mungkin telah menjadi belulang di demensi kefanaan.
Ibu rentaku yang cantik.... Terlalu pelik ketika aku mencari jawab atas tanya siapa aku dalam raga ini kuhaturkan padamu, dan tak ingin pula ini menjadi bebanan dirimu dalam bungkusan raga renta penuh keikhlasan yang cantik.
Maka kusayang engkau dengan aku mu, kuseka setiap keringat lelahmu dengan aku mu, kubasuh noktah sedihmu dengan aku mu, kumuliakan deraian senyumu dengan aku mu, kutahbiskan kepenatanmu menjadi pelita dengan aku mu.... Dan biarkan aku dalam raga ini tetap menjadi tanya yang tak terjawab atas aku mu yang selalu ada dalam setiap doa-doa malam mu.
(Bandung, 1 Maret 2010)
Tawaf Kehidupan (antara Ketakutan dan Keinginan)
Selasa, Maret 16, 2010Syahdan, manusia adalah makhluk terindah Tuhan yangdilengkapi dengan kelengkapan yang tidak makhluk lainnya miliki.
Hati, akal dan nafsu adalah elemen esensi dari kelengkapan tadi, sebagai penggerak manusia dalam bertawaf menjalani tugasnya di kefanaan ini.
Adalah tawaf, aksi melingkar, mengelilingi sumbu kehidupan, bertasbih dalam derain dzikir, wujud aksi dari pencapain harapan, hingga ber ma'rifah dengannya.
Energi kinetisnya menjadi teramat dahsyat seketika hati, akal dan nafsu bersinergi membuat irama tawaf begitu indah, ritmenya bagai niche nyayian alam yang sempurna.
Dan menjadi neraka fana ketika hati, akal dan nafsu tak lagi berada dalam fitrahnya, tipis antaranya namun besar konsekwensinya.
Dan adalah hati, elemen terlemah dari rangkaian ini, ia menjadi ringkih seketika kungkungan logika berkutat dalam ketakutan dan keinginan, yang menjajah setiap ruang kapiler akal, output yang menyakitkan bathin bahkan bernilai biasa seketika paradoksal aksi berwujud dengan sombongnya memberi luka definisi tawaf tadi, hati menjadi lemah bahan memudar dalam hitungan helaan nafas tatkala euphoric stimulus terolah menjadi bad euphoric stimulus (Ganzel, 2004)dalam kejumudan, kesemrawutan akal, Gozlun Fikr (Hasby, 1999).
Ya ia, adalah elemen terlemah dalam rangkaian ini.
Lalu nafsu, emosi, energi mosi (gerakan) yang seharusnya menjadi penyaring terakhir menjadi sangat apatis ketika asupan mentah dan ringkih hasil olahan rasa (hati)dan logika (akal)mengisi kinetisme elemen ini, dan tak mungkin disangkal oleh apapun wujud yang terlihat pasti tak nampak indah, tawaf itu tak lagi indah, tak beraturan. Lebih buruk, merusak keseimbangan tawaf makhluk lainnya.
Sobat Tawaf adalah keniscayaan kita dalam kefanaan ini, ia menjadi jalur rutin yang dinamis, dihiasi oleh berbagai noktah-noktah ketakutan dan keinginan yang iramanya semakin indah ketika sentrifugalnya menarik setiap kita larut dalam irama tasbih kita, dzikir kita. Tawaf terindah adalah tawaf kita yang begitu bernilai memberi keseimbangan pada tawaf makhluk lainnya, pada tawaf-tawaf makro lainnya.
...... jangan takut untuk bertawaf, biarkan setiap kerikil jalurnya membuat luka, memberi guratan sebagai tanda bahwa kita memiliki keinginan dan harapan atas apa yang kita nilai layak untuk berma'rifah atasnya.......
...... kuatkan keinginanmu untuk terus bertawaf, biarkan setiap sembilu jalannya memberikan tanda bahwa ketakutan itu ada dan kita tidak sedang berada di dalamnya.....
Hingga lingkaran tawaf itu mengecil, menuju pusat sumbunya dengan kebanggaan kita mengahadapNya
*untuk semua pendamping tawafku, terima kasih telah membuat tawafku begitu indah*
Rich Dad Poor Dad
Selasa, Maret 09, 2010Sudah lebih dari 3 kali buku ini saya baca, ya lumayanlah itung2 refreshing otak dan pelipur bu'ung (bahasa : sumpek, bengong, bete).
Insight nya lumayan dalem dan membuat kita berada dipersimpangan, jalan mana yang akan kita ambil dalam mendidik anak untuk urusan keduniawian mereka, dua pilihan ini sama sifatnya hanya berbeda dalam memberikan pondasi saja. Bahkan ada yang sarkas menyebut buku ini sebagai 'pembelajaran liberasme keuangan' sedini mungkin. Tapi apapun sebutannya untuk saya buku tetaplah sebuah buku yang aplikasinya tetap bergantung dari nalar kita.
Sobat, adalah sebuah keharusan bagi kita memberikan pemahaman sedini mungkin kepada anak2 kita, betapa waktu adalah karunia, memberikan pemahaman bahwa waktu begitu berharga adalah kewajiban kita, terlepas dari makna buku ini, kita adalah panutan bagi mereka, seperti apa kita itulah yang direkam oleh mereka, maka pondasi awal untuk mereka adalah kita, orang tua, manusia yang paling bertanggung jawab hingga ia dewasa kelak.
Sobat, kadang kita lupa bahwa rekaman masa lalu kita dan kelunglaian kita sekarang dipertontonkan dengan vulgar untuk kemudian direkam oleh mereka, membekas dan (naudzubilah) tertanam dalam pola hidup mereka kelak.
Apapun sumbernya, baik itu 'Rich Dad' maupun 'Poor Dad' tak ingin mereka melihat kita dalam bentuk dan wujud kita yang apriori terhadap masa depan.... Nah itu makna dari apa yang saya baca. :)
Afifah.... Maafkan ayahmu nak, maafkan atas ketelanjangan ayah di hadapanmu, yang tak pernah menyaring ulang apa yang terbaik bagi dirimu, yang dengan seringai senyum lugu dan tangis lirihmu manusia ini seakan tak tahu apa yang terbaik bagimu kelak.
Afifah.... Maafkan ayahmu nak, maafkan atas ke-taktahuan ayahmu akan apa yang terbaik bagimu kelak, manusia ini begitu sibuk memikirkan apa yang terbaik bagi dirinya kelak disela-sela ke-apriorian yang terus menggila. Nanar matamu tak jua membuat tersadar... Maafkan ayahmu ini nak..
Afifah.... Hiasi duniamu dengan apa yang terbaik bagimu dalam takaran dan kapasitasmu, namun yang terpenting berilah nilai yang terbaik bagi diri dan kehidupanmu...
(Semoga kelak engkau masih bisa membaca tulisan ini dan mengenang ayahmu tanpa terpangaruh oleh buku 'Rich Dad Poor Dad ini)
Si Jagur
Minggu, Maret 07, 2010Perkenalkan.... inilah Si Jagur... :)
Sarana sederhana jauh dari kesan bagus apalagi mewah, namun ketika bersamanya sejuta cita-cita dan hasrat Semar pernah, sedang dan akan terus ada.... hmmm tengkyu Jagur... :)
Lalu kenapa namanya Jagur ? hehehe.. kayak meriam ya
Jagur mungkin berasal dari kata Jago, makanya di beberapa lokasi bekas benteng kolonial Belanda dulu, beberapa meriam dinamakan Si Jagur, karena pada saat itu meriam memang betul-betul Jago dalam melemahkan serangan lawan... so bergesar istilahlah ke Si Jagur hehehehe.. Jadi intinya Semar pengen sarana ini menjadi jagoan Semar dalam menjalani hidup, bukankan kita hidup tidak bisa sendiri bahkan jika kita punya belahan jiwa pun kita tetap harus punya sarana pendukung yang jagoan.... Tapi memang seperti itulah sarana Semar ini, kalau semar wayang karena dengan kesaktiannya tidak memerlukan sarana/kendaraan dalam mengabdi pada kebenaran, maka Semar yang inimah perlu pisan, soalnya ga sakti ... hehehe
Sobat... kadang kita, dengan kesibukan dan keseharian yang rutin seringkali melupakan beberapa benda mati yang sangat berjasa melewatkan kita dengan fungsinya dari hari ke hari, bukan mem-bombastis “Si Jagur”, atau sejenis pemaksaan “ayo beri nama saranamu!” atau apapun itu pesannya, tapi sadar tidak sadar kebenda-matian sarana kita akan terasa bermakna jika kita memang memaknainya, sebut saja sepatu.... sahabat saya masih menyimpan sepatu pertamanya ketika ia memulai menjadi hiker, jika ditanya mengapa? Atau penuh kenangankah sepatumu itu? Ia tidak membenarkan, jawaban sederhananya adalah : karena dengan sepatu itu saya mengenal siapa saya, bukan karena kenangan sudah pernah saya pakai ke gunung A atau ke gunung B, tapi makna sepatu itu buat saya adalah saya mengenal diri saya ini adalah seorang pendaki gunung profesional dan ketika saya tidak merasa sebagai pendaki gunung saya tinggal memandangnya...
Jadi intinya adalah, semua makna kebendaan yang kita miliki akan menjadi “refresher” saat kita lunglai, saat kita memerlukan motivasi.... jadi teriakannya adalah “Ayo maknai benda matimu” hehehe.. *sambil doain ya... semoga si Jagur Semar cepat berubah wujud menjadi si Jaguar.... hahahaha*
(Bandung, medio November 2009)
Deja vu
Sabtu, Februari 27, 2010Prosa-prosa takdir dalam lemari ingatanku tak semua membekas, kadang mereka membiarkan aku dalam kebingungan, kadang ketakutan tercipta olehnya. Entahlah, manuskrip-manuskrip itu berguna kelak atau hanya sebatas pajangan yang sekali waktu bisa kubaca dengan tawa atau air mata. Niche mereka beragam, ada sebatas angan yang terjawab lalu menghilang atau sarkasme atau bahkan sebait syair cengeng. Semua tertata dalam rak-rak saraf ingatanku.
Dan.... Senarai masa mengulang beberapa prosa tadi, wujudnya tak berubah hanya sampulnya yang lebih indah, membuat terperangah dan sejenak menepikan harapan akan sebuah kenyataan kelak. Jika ini niscaya maka tak satupun penjelasan logis akannya membuat aku kembali merenung, namun jika ini sebuah absurbi maka tak jua membuatku penat meski deraan siksa kerapuhan logika terus menyerta.
Terkadang penolakan atas pengulangan prosa ini mencari celah untuk dilekatkan dalam niscaya pembenaran, atau bahkan ini aku anggap sebuah nicaya yang tak akan bertepi, berulang dalam satu masa dan kembali terjadi dalam masa yang lain.
Syair dalam satu prosa........
Indah... Teramat indah hingga keindahan itu adalah ia, membuat definisi baru akan keindahan itu sendiri, mandiri dan terlepas dari tema dan warna prosa itu sendiri. Dengannya semua kelekatan rasa dan logika tak pernah dipaksa atau terpaksa, bagai sang mentari yang menjaga keseimbangan rotasi bumi, berirama dan menghidupi.
Lirih, duka, bahagia dan gembira adalah warna syair tadi sedangkan kesetubuhan adalah maknanya.
Berlangsung.. Berlanjut... Menolak segala absurbi dan kenisbian, memberi ruang akan sesuatu yang tak pernah ada sebelumnya......dan itu adalah keindahan.
Hingga......... Sang mentari tak mampu menjaga keterikatan atas gravitasinya, menjadi puing dalam bentuk keindahan yang lain, namun tak merubah definisi atasnya.
... Jika ini adalah keindahan maka syair tadi akan tetap indah meski tanpa kehidupan, tanpa sang penikmat
.... Jika ini adalah prosa pertama yang akan berulang kelak, dimana sang mentari? Akankah kesetubuhan tetap berwujud tanpanya?
Lemari itu semakin rapuh, sanggaan tiangnya mulai termakan rayap-rayap keinginan... semoga berulanglah semua prosa keindahan itu.